Dampak Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) Dalam Politik
Dampak Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) Dalam Politik
Oleh:
Muhammad Ardiyanto
HUKUM EKONOMI SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
Sub tema: Politik
Latar belakang
Bahan bakar minyak merupakan elemen penting dalam dunia industri dan juga sebagi lumbung penghasilan negara. Keberadaan bahan bakar minyak tentu tidak terlepas dari daya pemakaian masyarakat yang terus meningkat. Produksi bahan bakar minyak sendiri selalu mengalami peningkatan. Selaras dengan produksi yang terus meningkat maka pemakaian dari masyarakat juga terus mengalami peningkatan. Dalam produksinya sendiri tentu memerlukan jalinan kerja sama antar pihak. Diantara beberapa pihak yang terlibat tentu tidak terlepas dari pihak-pihak pemerintahan.
Di Indonesia sendiri perusahaan yang dalam hal ini adalah Pertamina juga berada dalam naungan Pemerintah. Lembaga yang menaunginya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berkaitan dengan itu maka kebijakan-kebijakan yang sudah ada seperti penentuan harga, subsidi, dan pendistribusiannya tentu tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Jika berbicara tentang pemerintah maka ada kaitannya dengan urusan Politik. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan salah satu dari tubuh politik Indonesia.
Sebelum lebih jauh membahas isu-isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), bahwa kenaikan ini merupakan pengurangan atau penghapusan dari subsidi yang diberikan pemerintah. Subsidi sendiri merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Subsidi sendiri dapat digolongkan menjadi subsidi energi (BBM, LPG, dan Listrik) dan subsidi non energi (pangan, pupuk, dan pajak).
Dengan pengertian subsidi seperti yang telah dipaparkan maka harapannya pemerintah memberikan subsidi untuk kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Esai ini mengangkat tema hubungan Bahan Bakar Minyak dengan Politik. Yaitu mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan Pemerintah.
Pembahasan
A. Pengalihan anggaran APBN
Dalih yang selalu dibawa oleh pemerintah dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu berpusat pada pengalihan subsidi. Yang dimaksud disini adalah peralihan dari bantuan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini tidak terlepas dari tidak tepatnya sasaran subsidi yang diberikan. Hal lain yang memicu pemerintah mengurangi subsidinya adalah meningkatnya anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 yang telah meningkat. Dari APBN awal sebesar Rp. 152,5 triliun menjadi Rp. 502,4 triliun.
Dalam keterangan Presiden “Lebih dari 70% subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu yang mempunyai mobil pribadi. Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu”
Eksekusi dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digaungkan pemerintah ialah sebesar Rp. 150 ribu untuk 20,65 juta keluarga kurang mampu, perbulan dan berlangsung selama empat bulan. Dana yang dianggarkan oleh pemerintah sendiri senilai Rp. 12,4 triliun. Tidak berhenti disitu pemerintah juga menganggarkan Rp. 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp. 3,5 juta dengan bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp. 600 ribu.
Untuk harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengalami penaikan harga diantaranya: Pertalite dengan harga awal Rp. 7.650/liter menjadi Rp. 10.000/liter. Solar dengan harga awal Rp. 5.150/liter menjadi Rp. 6.800/liter. Pertamax dengan harga awal Rp. 12.500/liter menjadi Rp. 14.500/liter.
Selain itu Presiden juga memerintahkan Pemerintah Daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum yaitu sebesar Rp. 2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, ojek online, dan nelayan.
B. Dampak Politik Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Langkah tidak lazim yang dilakukan Pemerintah dengan menaikkan harga Bahahan Bakar Minyak (BBM) bukanlah solusi untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Terbukti dengan berbagai penolakan yang dilakukan oleh sebagian besar bahkan dilakukan serempak oleh berbagai lapisan masyarakat. Aksi dari penolakan tersebut merupakan suatu hal yang wajar dikarenakan tingkat kesejahteraan dan daya beli masyarakat tergolong rendah. Jika tingkat kesejahteraan masyarakat cukup baik maka penolakan masyarakat dibawah tidak akan sedasyat saat ini. Untuk jajaran pemerintahan sendiri lebih banyak yang pro akan kebijakan ini.
Kebijakan ini tentu berdampak dalam banyak aspek. Tidak hanya berdampak pada bidang ekonomi dan sosial tetapi juga pada bidang politik. Terlebih kebijakan ini dikeluarkan saat bangsa ini masih belum begitu kuat secara ekonomi dan secara politik. Apalagi mendekati tahun politik atau tepatnya tahun 2024.
Menakar dampak negatif yang ditimbulkan adalah banyaknya cacimakian yang masuk kedalam pemerintahan. Jika ketidakpercayaan masyarakat terus berlanjut maka pemerintah harus menerima, legowo atas konsekuensi ketidak percayaan masyarakat. Dalam hal ini partai yang yang saat ini menduduki kekuasaan tertinggi bisa kehilangan banyak suara dalam pemilihan yang akan datang.
Kondisi ketidak percayaan masyarakat semakin terlihat jelas kala beberapa fraksi DPR RI dalam hal ini partai PKS ikut menolak akan kebijakan tersebut. Bahkan sampai saat ini gelombang unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM pun masih berlanjut.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Dan dengan terbaginya unsur kekuasaan menjadi tiga komponen antara Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif harus dijunjung tinggi bersama-sama. Seberapapun kuatnya pemerintahan dalam bidang Eksekutif jika tidak diimbangi dengan komponen lainnya, terutama dari bidang Legislatif yang merupakan perwakilan rakyat, maka bukan tidak mungkin kegiatan pemerintahan akan goyah. Hal ini mempengaruhi stabilitas politik di tingkat atas menjadi tidak kondusif.
C. Politik Energi
Dalam tatanan kepemerintahan suatu politik tidak hanya seputar mendapat suara dan saling menjatuhkan antar koalisi. Diantara kegiatan politik yang berkaitan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak adalah Politik Energi. Apa itu politik energi?. Politik Energi adalah suatu kebijakan yang kemudian dikeluarkan oleh pemerintah di berbagai aspek untuk mendukung sektor energi.
Pada dasarnya Politik energi ini merupakan suatu variabel penting yang dibutuhkan dalam konteks pemetaan potensi yang dimiliki negara tersebut. Politik energi ini kemudian diberlakukan diberbagai negara. Tak tanggung-tanggung dibeberapa negara justru memiliki konsepsi yang tegas mengenai target yang jelas dalam pengembangan atau pemanfaatan sumber energi dinegaranya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri?.
Dalam hal ini transparansi data dari pemerintah pun menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat. Akhirnya publik pun ingin tahu bagaimana dengan politik energi Indonesia?. Apakah langkah Indonesia menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya yang bersubsidi dalam hal ini (pertalite, solar, pertamak) merupakan pilihan kebijakan yang tepat?. Atau karena Indonesia belum memiliki konsepsi mengenai politik energi dalam negeri yang jelas dan terukur?.
Pada dasarnya kita tidak perlu ragu bahwa Indonesia berlimpah kekayaan alam tanpa terkecuali, soal minyak. Ditambah lagi tersedianya 7 blok minyak potensial seperti: Blok Rokan, Blok Cepu, Blok Mahakam, Kilang Minyak Cilacap, Kilang Minyak di Sumatra Selatan, Kilang Minyak Balongan, Kawasan Minyak Natuna.
Dari keseluruhan penghasil minyak yang ada maka dalam perharinya bisa menghasilkan sekurang-kurangnya 1juta bph (barel per hari). Tentunya dengan minyak sebanyak itu seharusnya bisa memenuhi konsumsi nasional. Apalagi kemampuan pengadaan minyak dalam negeri tidak hanya bersumber dari sumber daya alam yang ada, melainkan tersedianya kebijakan impor minyak mentah dari luar negeri. Untuk impor minyaknya sendiri paling banyak dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai US $2,27 milyar. Volume itu mencapai 32,08% dari total impor minyak mentah Indonesia yang totalnya 13,78 juta ton. Belum lagi impor minyak mentah dari negara-negara lain.
Yang menjadi masalah di Indonesia selama ini adalah pengolahan minyak bumi yang belum maksimal. Bahkan hal ini cenderung dirasionalkan ke-publik. Tujuannya adalah agar setiap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dapat dimaklumi.
D. Kesimpulan
Sebagai kalangan masyarakat yang terdampak langsung dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tentu kita berharap bahwa pemerintah hendaknya mengkaji lebih dalam lagi tentang dampak kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM). Mengingat dampak dari hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik termasuk nilai efektifitas program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jika dipandang secara kuat dan ilmiah maka kebijakan ini lebih banyak membawa mudharat (keburukan) daripada maslahah (manfaat).
Disamping kajian-kajian yang harus dilakukan pemerintah hendaknya pemerintah juga mau mendengarkan dan menyimak pendapat dari pihak lain, meski berbeda politik dan posisi.
0 Response to "Dampak Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) Dalam Politik"
Post a Comment