Menjaga Tutur Kata dalam Bermasyarakat dan Bersosial Media

 

    Belakangan ini banyak orang yang sudah terbiasa menggunakan kata-kata kurang pantas dalam berinteraksi di dunia nyata maupun dunia maya. Meski bagi sebagian orang kata-kata tersebut sebenarnya sangat jauh dari nilai kesopanan tapi mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dalam sebuah pergaulan. 

    Padahal penggunaan kata-kata yang kurang pantas tidaklah mencerminkan perbuatan yang santun dalam berbahasa. Sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Santun berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya, sabar, dan tenang sopan). Menurut Moeliono bahasa santun berkaitan dengan tata bahasa dan pilihan kata yaitu penuturan bahasa menggunakan tata bahasa yang baku, mampu memiliki kata-kata yang sesuai dengan isi/pesan yang disampaikan dan sesuai juga dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.

    Bahasa yang tidak santun adalah bahasa yang kasar, melukai perasaan orang, kosa kata yang membuat tidak enak orang yang mendengarkan. Karena itu bahasa santun berkaitan dengan perasaan dan tata nilai moral masyarakat penggunanya.

    Bahasa santun menjadi ciri manusia yang memahami dan menghayati nilai-nilai budaya dan agama. Orang yang berbahasa santun akan mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai anggota masyarakat yang baik dan memahami manfaat bagi lingkungannya.

  Orang yang santun berbahasa tentunya mengerti apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu, serta ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. Ia juga tahu kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan, bagaimana mengatur penyaringan suara, sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.


    Selain di lingkungan masyarakat, saat ini interaksi juga banyak terjadi pada media sosial. Media sosial seakan bertransformasi dari kebutuhan tersier ke kebutuhan pokok. Kapan dan kemanapun kita pergi, dengan mudahnya kita akan menjumpai orang-orang yang sedang mengakses media sosial, baik berupa Facebook, Twitter, Linked In, Instagram dan beberapa media sosial lainnya.

    Pada mulanya media sosial cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat umum hanya sebatas untuk menyambung tali silaturahim antar teman, keluarga yang sudah terpisah baik karena sekolah, bekerja di luar kota atau karena menikah yang kemudian berpindah rumah. Namun, seiring bertambahnya berbagai macam fitur serta semakin banyaknya pengguna dari media sosial tersebut, masyarakat di dalam memanfaatkannya pun semakin beragam.

    Dari kalangan politisi media sosial digunakan sebagai sarana untuk mencari aspirasi dari masyarakat. Para pebisnis, memanfaatkannya sebagai sarana untuk menawarkan berbagai barang dagangannya. Lain lagi dengan para penulis mereka memanfaatkannya sebagai sarana untuk menyalurkan gagasan mereka kepada publik dan bahkan ada juga yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti pelecehan, cacimakian, penipuan, penculikan dan pencemaran nama baik.

    Banyak contoh kasus pidana yang terkait dengan adanya komentar yang menyinggung orang lain, mencemarkan nama baik atau dianggap menyudutkan seseorang atau kelompok tertentu. Sehingga mendapat sanksi hukum berdasarkan pada undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transkasi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu “Setiap orang sengaja tanpa hak  mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” 

    Seperti kasus yang menimpa SF (22) warga Desa Sukokarto, Kecamatan Pacarakan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang ditangkap tim Cyber Plores Probolinggo gara-gara menulis status di media sosial. Status tersebut berisi ujaran kebencian terhadap polisi karena ia tidak terima ditilang lantaran tidak mampu menunjukkan kartu SIM. Statusnya bertuliskan: “dancook, polisi kurang badook.. isuk isuk keno tilang.” (Kurang ajar, polisi kurang makan. Pagi-pagi kena tilang). Lalu ia kembali menulis: “pekerjaan polisi lok tanggal tua ea kayak gitu... suka nomgkrong di jalan...”

    Akibat dari penulisan status itu, ia ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 27 ayat (3) juncto pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana maskimal 6 tahun penjara dan denda 1 miliar.

    Belajar dari kasus di atas, menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu menjaga kesantunan dalam bertutur kata saat berinteraksi dengan orang lain dalam dunia nyata maupun dunia maya. Dengan selalu menjaga tutur kata yang baik kita akan terhindar dari berbagai hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menjaga Tutur Kata dalam Bermasyarakat dan Bersosial Media"

Post a Comment