PENYEBAB KORUPSI

 

A.    Faktor Internal Penyebab Korupsi

1.      Psikologi Koruptor

Motivasi Korupsi

Motivasi merupakan sesuatu yang menjadi diringan seseorang untuk berprilaku dalam cara tertentu atau setidaknya mengembangkan kecenderungan untuk berperilaku tertentu. Motivasi terbagi menjadi 3 golongan yaitu: kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan kekuasaan. Berdasarkan hal ini motivasi afiliasi dan kekuasaan memiliki hubungan langsung dengan perilaku suap sebagai bagian dari perilaku korupsi. Motivasi tertinggi dalam tindak korupsi ialah motivasi kekuasaan yang tergambar dari jabatan mereka yang relatif tinggi dipemerintahan maupun di dunia bisnis.[1]

Kendala Etika

Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” meruku pada karakter, watak, kesusilaan, atau adat istiadat. Dalam konteks perilaku manusia etika merupakan ajaran untuk membedakan yang benar dan yang salah.[2] Etika yang cenderung lemah dibarengi dengan keimanan yang lemah memunculkan perilaku yang buruk pada setiap individu. Dalam hal ini dilihat dari sisi memunculkan korupsi jelas erat kaitannya dengan etika.

Masalah yang muncul dari lemahnya etika birokrasi juga  membuat belum optimalnya implementasi peraturan perundangan pencegahan korupsi.

Penyebab Moral

Moral disangagemen merupakan ketidak aktifan regulasi diri sehingga individu dapat melanggar standar moral internalnya tanpa merasa bersalah. Hal ini berkaita dengan situasi dilema korupsi antara melakukan korupsi atau menaati moral standarnya.[3] Korupsi merujuk pada perilaku menyimpang, tidak etis,melangar prinsip hukum dan moral serta secara sengaja untuk mendapat keuntungan pribadi maupun kelompok.

2.      Kekurangan Pengendalian Internal

Supervisi yang Lemah

Supervisi adalah tindakan pemantauan, pengawasan, penelitian, atau penelaah terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang erkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pekayanan publik berpotensi korupsi. Kaitannya dengan hal ini peraturan KPK yang sudah jelas dan tegas mengenai supervisi nyatanya dalam pelaksanaannya masih menemui kendala hambatan yang membuat tingkat korupsi masih tinggi.

Hambatan lain dalam pelaksanaan tugas koordinasi supervisi cenderung bersifatvkasuistis. Kepangkatan yang berbeda antara pihak yang mensupervisi (KPK) dengan pihak yang disupervisi (Polda dan Kajati) seringkali membuat pelaksanaan fungsi ini tidak efektif. Bahkan, di tataran tertentu ego-sektoral masih muncul ketika KPK menjalankan tugasnya baik di Jakarta dan Daerah. Dari sejumlah kegiatan diskusi dan seminar yang diikuti dengan tema pemberantasan korupsi, masih sering terucap dari pihak Polri dan Jaksa, bahwa ada keberatan jika lembaga baru seperti KPK kemudian bisa menjadi lebih tinggi dan mengatur “kakak-kakaknya” di kepolisian dan kejaksaan.[4]

Budaya Organisasi

Dalam lingkup organisasi, tingginya moral disangagement secara signifikan berhubungan dengan perilaku menyimpang, pengambilan keputsan tidak etis, perilaku tidak etis, hingga korupsi. Korupsi organisasi diakibatkan oleh individu yang memiliki moral disangagement yang tinggi mengambil keputusan yang mengabaikan etika.[5]

 

B.     Faktor Eksternal Penyebab Korupsi

1.      Peran Regulasi dan Penegakan Hukum

Kerentanan terhadap Manipulasi

Modus dalam melakukan tindakan korupsi salah satunya adalah mark up atau pengelabuhan, setidaknya ada 3 provesi yang dominan menggunakan modus mark up yakni ASN, swasta dan kepala desa.[6] Modus ini sering digunakan seiring dengan mudahnya melakukan manipulasi seperti manipulasi laporan kuangan.

Isu Impunitas

Impunitas adalah ketidakberlakuan hukum atau ketidakadilan dalam penegakan hukum. Ketika impunitas menjadi masalah dalam suatu negara, hal ini dapat memberi dampak besar pada tingkat korupsi. Berikut adalah beberapa alasan mengapa impunitas dapat menjadi faktor yang memengaruhi korupsi:

Kehilangan Deterrensi: Impunitas dapat mengurangi efektivitas dari sistem hukum dalam mencegah tindakan korupsi. Jika pelaku korupsi merasa bahwa mereka dapat melakukan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensi hukum, mereka cenderung lebih cenderung untuk terlibat dalam tindakan korupsi.

Kurangnya Akuntabilitas: Impunitas dapat menciptakan kurangnya akuntabilitas di antara pejabat pemerintah, birokrasi, dan individu-individu yang terlibat dalam korupsi. Ketika pelaku korupsi tidak dituntut atau dihukum, mereka tidak akan merasa perlu bertanggung jawab atas tindakan mereka, yang dapat memperburuk tingkat korupsi.

Sistem Hukum yang Lemah: Impunitas seringkali mencerminkan kelemahan dalam sistem hukum dan penegakan hukum suatu negara. Jika sistem hukum tidak efisien, transparan, atau independen, maka pelaku korupsi akan lebih mudah menghindari penuntutan dan hukuman.

Kepercayaan Publik yang Menurun: Impunitas dalam kasus-kasus korupsi dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegakan hukum. Kepercayaan publik yang rendah dapat memungkinkan tindakan korupsi terus berlanjut tanpa perlawanan yang signifikan dari masyarakat.

 

2.      Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi

Tekanan yang paling sering dialami oleh pelaku korupsi yaitu tekanan yang bersifat finansial. Kebiasaan buruk seperti narkoba, berjudi, kurang dihargainya kinerja, membeli barang di luar kemampuan dan gaji yang rendah dapat memicu karyawan untuk melakukan korupsi. Sehingga apabila tekanan finansial naik, maka tendensi untuk melakukan korupsi juga akan naik. Penelitian yang dilakukan Marliani dan Jogi (2015) menjelaskan bahwa tekanan berpengaruh positif terhadap terjadinya fraud. Hal ini dikarenakan jika pressure bertambah tinggi, maka kecenderungan terjadinya kecurangan juga semakin tinggi. Tekana berpengaruh positif terhadap kecenderungan terjadinya fraud dikarenakan tekanan merupakan aspek yang bersumber dari dalam diri seseorang yang mampu dipengaruhi oleh lingkungan tempat kerja.[7]

3.      Faktor Politik

Kepemimpinan Koruptif

Kepemimpinan merupakan kecakapan untuk meyakinkan orang dalam organisasi agar mau mengusahakan secara tegas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[8] Korupsi  disebabkan  oleh  tiga  determinan  yaitu  kekuasaan  eksklusif  pada  pembuat keputusan,  diskresi  pada  pembuat  keputusan  serta  tidak  adanya  (kurangnya)  akuntabilitas atas  penyalahgunaan  kekuasaan  dan  diskresi.  Tindakan  koruptif  yang dilakukan oleh pejabat negara atau pemimpin institusi atau lembaga dapat dipengaruhi oleh faktor  motivasi  atau  dorongan  perilaku  koruptif  seperti  besarnya  keuntungan  yang  bisa diperoleh  dengan  melakukan  korupsi,  potensi  risiko  yang  mungkin  terjadi  serta  adanya kekuatan tawar-menawar antara penyuap dan yang disuap. Sebagai contoh, seorang Pejabat Pembuat Komitmen/Pimpinan Unit Kerja yang mengelola anggaran satuan kerja dengan jumlah besar, namun gaji dan tunjangan kinerja yang diterima setiap bulan masih dirasa terlalu rendah ditambah dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang kondusif serta minimnya sumber daya, maka hal ini akan menjadi faktor pendorong bagi Pejabat Pembuat Komitmen/Pimpinan  Unit  Kerja  untuk  menerima  suap.  Ada  kemungkinan  pejabat  tersebut menyalahgunakan  kekuasaan/wewenang  ketika  memahami  risiko  tindakan  korupsi  masih sangat  rendah  untuk  bisa  sampai  ketahuan  hingga  mendapatkan  sanksi.  Karena  adanya kemungkinan  risiko  rendah  dalam  tindakan  koruptif,  tetapi  bisa  mendatangkan  keuntungan pribadi/golongan  yang  banyak,  maka  hal  ini  memunculkan  motivasi  atau  dorongan  bagi pemimpin/pejabat di unit kerja untuk berperilaku koruptif.[9]

Proses Demokratisasi

Dalam kondisi dimana sistem politik menghendaki biaya politik yang amat besar dalam merebut suara rakyat, rekanan politik yang penulis sebut juga sebagai politik rekanan dibutuhkan kehadirannya untuk menopang biaya politik di lapangan. Tentu saja itu tidak gratis.

Rekanan politik tidak mungkin gratis karena selama proses interaksi politik berlangsung, para rekanan politik tersebut sudah mengeluarkan biaya yang dibutuhkan oleh para calon, baik sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, maupun calon-calon yang akan duduk di DPR (D) natuya Sebelum dilakukannya transaksi politik tersebut dilakukan, terlembih dahulu harus ada komitmen komitmen Dari sinilah awal munculnya embrio korupsi tersebut. Misalnya seorang kepala daerah yang berhasil dimenangkan, maka pengerjaan proyek proyek nantinya akan diserahkan kepada rekanan politik yang berpartisipasi dalam bentuk ongkos politik tersebut. Singkatnya, bahwa semua calon tidak terkecuali calon legislative berpikir untuk mendapatkan dana dalam memenangkan pertarungan politik Sehingga tidak jarang kita lihat ada saja kalangan mereka yang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan dana tersebut, termasuk dengan cara korupsi.



[1] Sulis Winurini, Perilaku Korupsi Di Imndonesia Dalam Perspektif Teori Motivasi, Majalah Info Singkat Kesejahteraan Sosial (Vol 9, No 3) 2017, hal 10-11

[2] Sedarmayanti dan Nita Nurliawati, Strategi Penguatan Etika dan Integritas Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi Guna Meningkatkan Kualitas Pelayanan, Jurnal Ilmu Administrasi Media Pengembangan Ilmu dan Praktik Administrasi (Vol 9, No 3) 2019. hal 338 dan 343

[3] Asfira Tadwimil Hikmah, Peran Moral Disengagement dalam Kepemimpinan Etis Terhadap Intensi Korupsi Pegawai Negeri Sipil, Gadjah Mada Journal Of Psychology (Vol 6, No 2) 2020, hal 135

[4] Febri Diansah, Laporan Penelitian Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi Koordinasi Dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch, jakarta 2011, hal 25 dan 35

[5] Op cit. hal 135

[6] Wana Alamsyah, Laporan Peantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 2020, Indonesian Corrupsion Watch, Jakarta 2020, hal 15

[7] Adi Wiranto, Pengaruh Budaya Organisasi, Tekanan, Kesempatan, dan Rasionalisasi terhadap Perilaku Korupsi, Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi (Vol 22 No 2) 2020, hal 115

[8] Dedi Hadian, Pengaruh Kepemimpinan \, Struktur Organisasi dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dinas Serta Implikasi pada Pelayanan Publik, Kontigensi (Vol 3 No 1) 2015, hal 33

[9] Maria gayatri, Kepemimpinan Pancasila dalam Pencegahan Korupsi di Indonesia, Jurnal Pendidikan Tambusai (Vol 7 No 2) 2023, hal 14371

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENYEBAB KORUPSI"

Post a Comment